SMS GRATIS

Selasa, 21 Februari 2012

KISAH BIJAK PARA SUFI



Nelayan dan Jin

REPUBLIKA.CO.ID, Suatu hari ada seorang nelayan, yang terbiasa melaut sendirian, menemukan sebuah botol kuningan dalam jalanya. Sumbat botol itu terbuat dari timah.

Meskipun bentuknya agak berbeda dari botol lain yang lazim dilihatnya, nelayan itu berpikir kalau-kalau botol tersebut berisi sesuatu yang berharga. Lagipula, hari itu tangkapannya jelek, paling tidak ia bisa menjual botol kuningan itu kepada pedagang kuningan.

Botol itu tidak begitu besar. Pada lehernya, tergores simbol aneh, Meterai Sulaiman, Raja dan Guru. Di dalam botol itu terperangkap suatu jin yang menakutkan, dan Sulaiman sendiri telah membuangnya ke laut agar manusia terlindung dari roh itu sampai saatnya tiba ketika tampil seseorang yang bisa mengendalikannya, menempatkan jin itu pada tugasnya sebagaimana semestinya, yaitu melayani manusia.

Tetapi, nelayan itu tak mengetahui hal tersebut. Yang ia tahu adalah bahwa botol itu bisa ia selidiki, dan mungkin akan mendatangkan keuntungan bagi dirinya. Lupa akan petuah, 'Manusia hanya bisa mempergunakan sesuatu yang ia ketahui penggunaannya,' nelayan itu menarik sumbat timahnya.

Ia menelungkupkan botol itu, namun tampaknya kosong. Lalu, ia meletakkan dan memandangi botol itu. Kemudian, terlihat suatu gumpalan asap tipis, yang semakin pekat, membumbung naik dan membentuk hantu raksasa dan seram, yang berseru dengan nyaring, "Aku Pemimpin Bangsa Jin yang mengetahui rahasia peristiwa-peristiwa gaib. Aku memberontak terhadap Sulaiman; dan ia mengurungku dalam botol laknat ini. Nah, sekarang kau akan kubunuh!"

Nelayan itu ketakutan dan tersungkur di pasir sambil menangis, "Akan kau bunuh jugakah orang yang membebaskanmu?"

"Tentu saja," kata jin itu, "Sebab berontak adalah sifatku, dan merusak adalah keahlianku, meskipun kurungan itu telah menahanku ribuan tahun lamanya."

Sekarang, nelayan itu menyadari bahwa, alih-alih mendapat keuntungan dari tangkapan tak disangka itu, ia akan binasa begitu saja tanpa alasan yang bisa dimaklumi. Ia memandangi meterai pada sumpal botol itu, dan mendadak terpikir olehnya suatu ide. "Kau tak mungkin muncul dari botol itu, botol itu terlalu kecil," katanya.

"Apa! Kau meragukan ucapan Pemimpin Para Jin?" teriak bayangan itu. Dan, jin itu pun mengubah dirinya menjadi gumpalan asap dan ia masuk kembali ke dalam botol itu. Nelayan itu mengambil sumbat tadi dan memeteraikannya pada botol itu. Kemudian, botol itu ia lemparkan jauh-jauh, ke kedalam lautan.

Berpuluh-puluh tahun lewat, sampai suatu hari nelayan lain, yaitu cucu nelayan pertama tadi, melabuhkan jalanya di tempat yang sama, dan mendapati botol itu. Ia menaruh botol itu di pasir. Ketika baru saja hendak membukanya, ia teringat akan nasihat ayahnya, yang diturunkan dari kakeknya. Bunyi nasihat itu: 'Manusia hanya bisa mempergunakan sesuatu yang ia ketahui penggunaannya'.

Dan tepat pada saat itu, karena guncangan pada penjara logam itu, si jin terbangun dari tidurnya, dan berseru, "Hai putra Adam, siapa pun kau, buka sumbat botol ini dan bebaskan aku! Sebab Akulah Pemimpin Bangsa Jin yang mengetahui rahasia peristiwa gaib."

Karena mengingat pesan leluhurnya, nelayan muda itu pun meletakkan botol itu dengan hati-hati di dalam sebuah gua. Lalu, ia mendaki bukit karang yang terjal di dekat situ, mencari pondok seorang bijaksana.

Ia pun menceritakan semuanya kepada orang bijaksana itu, yang berkata, "Pesan leluhurmu itu benar adanya kau harus melakukannya sendiri, tetapi terlebih dahulu kau harus memahami cara mempergunakannya."

"Tetapi, apa yang harus kulakukan?" tanya pemuda itu. "

Pasti ada sesuatu yang kau rasa ingin kau lakukan?" kata orang bijaksana itu.

"Aku ingin membebaskan jin itu agar ia bisa memberiku pengetahuan ajaib atau mungkin gunungan emas, dan lautan jamrud, dan semua pemberian lain yang biasa diberikan oleh para jin."

"Harapanmu itu tidak akan terjadi," kata sang guru, "Sebab ketika jin itu dibebaskan, ia mungkin tidak akan mengabulkan keinginanmu itu atau mungkin ia akan memberikannya tetapi mengambilnya kembali karena kau tak punya cara untuk melindungi para jin, belum lagi petaka yang bisa saja menimpamu ketika kau melakukan sesuatu serupa itu. Sebab, manusia hanya bisa mempergunakan sesuatu yang ia ketahui penggunaannya."

"Kalau begitu, apa yang seharusnya kulakukan?'

"Mintalah jin itu sebuah contoh pemberian yang bisa ia berikan. Mintalah cara menjaga pemberian itu dan ujilah caranya. Mintalah pengetahuan, jangan barang milik, sebab milik tanpa pengetahuan adalah sia-sia, dan itulah penyebab semua kekhawatitan kita."

Sekarang, karena telah tepekur dan waspada, pemuda itu bisa menyusun rencananya ketika ia kembali ke gua tempat botol jin itu diletakkan. Ia pun mengetuk botol itu, dan terdengar suara jin itu berkata, "Dalam nama Sulaiman yang Perkasa, damai baginya, bebaskan aku, wahai putra Adam!"

"Aku tak percaya bahwa kau seperti yang kau akui, dan bahwa kau memiliki kuasa seperti yang kau katakan," jawab pemuda itu.

"Kau tak percaya? Tak tahukah kau bahwa aku tak bisa berbohong?" sahut jin itu.

"Tidak, aku tak percaya," kata nelayan itu.

"Lalu, bagaimana aku bisa meyakinkanmu?"

"Tunjukkan padaku kekuatanmu. Bisakah kau mempergunakan kuasa tertentu melewati dinding botol?"

"Ya, tetapi kekuatanku ini tak cukup kuat untuk membebaskan diriku."

"Baik sekali, kemudian kau juga harus memberiku kemampuan untuk mengetahui kebenaran tentang masalah yang ada di pikiranku."

Segera saja, setelah jin itu menggunakan kemampuan gaibnya, nelayan itu pun segera sadar akan sumber petuah tadi yang diwariskan oleh kakeknya. Ia juga menyaksikan seluruh peristiwa pembebasan jin itu oleh kakeknya berpuluh-puluh tahun silam; dan dilihatnya pula cara untuk menyampaikan kepada orang lain tentang bagaimana memperoleh kemampuan serupa itu dari para jin. Tetapi, ia pun menyadari bahwa tak ada lagi yang bisa dilakukannya. Dan begitulah, si nelayan membawa botol itu dan, seperti kakeknya, melemparnya kembali ke lautan.

Pemuda itu pun menghabiskan sisa hidupnya bukan sebagai nelayan, tetapi sebagai orang yang mencoba menjelaskan kepada orang lain, bahaya yang menimpa 'manusia hanya bisa mempergunakan sesuatu yang ia ketahui penggunaannya'.

Namun, karena sedikit orang yang pernah menemukan jin dalam botol, dan tak ada orang bijaksana yang menasihati mereka dalam berbagai hal, penerus nelayan itu memutarbalikkan apa yang mereka sebut 'ajarannya', dan menirukan penjelasannya. Pada akhirnya, penyelewengan itu menjadi suatu agama. Mereka terkadang minum dari botol-botol aneh yang disimpan di dalam kuil-kuil mahal dan serba megah. Dan karena mereka mengagumi kelakuan pemuda nelayan itu, mereka berusaha keras untuk menyamai perbuatan dan sikapnya dalam segala hal.

Kini berabad-abad kemudian, bagi para pengikut agama tersebut, botol itu tinggal lambang suci dan menyisakan misteri. Mereka mencoba saling menyayangi hanya karena mereka menyayangi nelayan itu. Dan di tempat nelayan itu mereka menetap dan membangun sebuah gubug sederhana. Mereka memakai pakaian dan perhiasan bagus-bagus, serta melakukan ritual yang rumit.

Mereka tak tahu bahwa para pengikut orang bijaksana itu masih hidup, demikian pula anak-cucu nelayan itu. Botol kuningan itu pun tetap tergeletak di relung samudera dan jin itu tertidur di dalamnya.



Roti Untuk Saudagar yang Kikir 


Ada seorang saudagar yang sangat irit dalam hal makan dan minumnya. Suatu ketika ia berada di sebuah negeri yang jauh untuk berdagang. Ketika ia berjalan-jalan di tengah-tengah pasar, lewat seorang perempuan tua membawa dua potong roti. Saudagar itu menyapa perempuan tua itu.

”Nyonya, apakah roti itu mau dijual?”

Perempuan tua itu ragu-ragu sejenak, tapi kemudian menjawab, ”Ya.”

Saudagar itu lantas menawar roti tersebut dengan harga yang serendah-rendahnya. Si ibu tua, karena kalah lihai dalam tawar-menawar akhirnya menjual rotinya dengan harga sangat murah. Kemudian dengan puas pulanglah si saudagar ke tempatnya bermalam. Hari itu dia merasa menang dan memakan kedua potong roti itu.

Keesokan harinya, ia kembali ke pasar itu. Dilihatnya perempuan tua itu lewat lagi sambil membawa dua potong roti yang serupa. Kemudian roti itu dibelinya lagi. Begitulah seterusnya, tiap-tiap hari ia membeli dua potong roti dari perempuan tua itu selama dua puluh hari berturut-turut, sampai akhirnya perempuan tua itu tidak muncul-muncul lagi. Saudagar itu menanyakan keadaan wanita tua itu kepada orang-orang di sekitar situ, namun tidak ada yang mengetahui kabar beritanya.

Suatu hari, ketika ia sedang melihat-lihat di sebagian jalan raya di kota itu, si saudagar tanpa sengaja berpapasan dengan perempuan tua penjual roti itu. Lalu saudagar itu berhenti dan memberi salam kepadanya serta menanyakan sebab-sebab mengapa ia tidak berjualan roti lagi.

Perempuan tua itu enggan menjawab, namun saudagar itu tetap memaksanya memberikan penjelasan. Maka berkatalah perempuan tua itu,

”Tuan, dengarkan jawaban saya. Sebenarnya saya merawat seorang laki-laki yang menderita penyakit borok pada bagian bawah pinggangnya. Tabib mengobatinya dengan tepung yang diadoni minyak samin lalu menempelkannya di tempat yang sakit itu semalaman. Keesokan harinya tepung itu saya ambil, lalu saya buat dua potong roti. Itulah yang saya jual kepada Tuan. Demikianlah hal itu tiap hari saya lakukan. Tetapi sekarang laki-laki itu telah meninggal dunia sehingga saya tidak bisa membuat roti lagi.”

Ketika saudagar mendengar jawaban perempuan tua itu, berkatalah ia dalam hatinya, ”cilaka!”

Kemudian ia merasakan perutnya melilit dan mual-mual, lalu muntah. Akhirnya ia jatuh sakit. Ia menyesal namun sudah tidak ada gunanya lagi penyesalan.


Tung Yang dan Jari Ajaib Sang Dewa 


Tung Yang dan Jari Ajaib Sang Dewa
Tung Yang seorang yang sangat miskin, tak memiliki benda berharga apapun. Bekerja dengan beban yang hampir tak tertanggungkan, tapi penghasilannya masih belum juga bisa mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Walaupun Tung Yang sudah bekerja banting tulang setiap harinya, hidupnya tetap melarat.

Suatu hari ia betemu dengan salah seorang sahabatnya. Karena perjuangan yang gigih, sang sahabat itu sudah menjadi dewa. Menyaksikan kemelaratan temannya, maka sang kawan tak sampai hati, datanglah Dewa ini kepada sahabatnya untuk menolongnya.

Tak kepalang girangnya Tung Yang melihat sahabatnya yang sudah berhasil menjadi Dewa, maka ia menceritakan kesulitan dirinya yang dirasanya tak berkesudahan, memohon agar temannya yang sudah jadi Dewa itu memberi laporan kepada Giok Hong Siang Tee, supaya takdirnya dirubah menjadi bagus dan baik agar hidupnya tidak melarat terus-menerus.

Sahabat yang sudah menjadi Dewa itu tersenyum mendengar cerita maupun keluh-kesah Tung Yang. Dengan sabar ia bertanya, “Lalu, sekarang apa maumu?”

“Mauku? Tidak banyak. Aku hanya ingin memiliki uang yang cukup agar hidupku dan keluargaku tidak melarat seperti sekarang.”

“Baiklah,” sahabatnya yang telah menjadi Dewa mengangguk. “Aku akan menolongmu.” Setelah berujar demikian, sahabat itu mengangkat tangannya dan mengarahkan jari telunjuknya kepada sebongkah batu yang cukup besar, lebih besar dari kepalan tangan. Keluar cahaya menyilaukan dari ujung jari tangan si Dewa, dan bongkahan batu gunung itu seketika berubah menjadi sebongkah emas yang berkilauan, lalu diberikannya kepada Tung Yang.

Tung Yang kaget bercampur girang luar biasa, kemudian cepat-cepat memberitahukan kepada sahabatnya yang sudah menjadi Dewa itu, bahwa hanya sebongkah emas seperti itu tentu belum cukup untuknya. Karena di waktu mendatang belum tentu mereka bertemu lagi; bagaimana Tung Yang harus meminta tolong lagi jika sebongkah emas itu sudah habis dipergunakannya.

Sahabatnya tersenyum, ia mengerti dan memaklumi sifat temannya. Kembali tangannya diangkat, jari telunjuknya menuding sebongkah batu sebesar kuda. Seperti tadi, dari ujung jari tangannya memancar cahaya kemilau dan batu besar itu pun berubah menjadi emas. “Ambillah, tak akan habis walaupun kau pergunakan sampai seratus tahun,” kata si Dewa dengan perasaan puas, mengira Tung Yang akan mengucapkan terima kasih.

Tapi Dewa itu menjadi kaget, waktu Tung Yang mendadak menangis terisak-isak. Dia letakkan bongkahan kecil emas pertama di samping bongkahan besar, kemudian menangis berguling-guling di tanah.

“Wah, wah, kenapa lagi kau?” Si Dewa kebingungan.

“Jika kau hanya memberikan dua bongkah emas seperti itu, mana cukup buat membeli kebutuhan keluargaku seperti tanah, rumah, kereta kuda … ”

Si Dewa jadi semakin bingung. “Jadi apa lagi yang kau inginkan?

Tung Yang berhenti menanngis, kemudian menuding ke tangan Si Dewa.

”Aku mau jarimu.”



Sultan yang Menjadi Kuli 


Seorang Sultan Mesir konon mengumpulkan orang-orang terpelajar, dan – seperti biasanya – timbullah perdebatan. Pokok masalahnya adalah Mi’raj Nabi Muhammad. Dikatakan, pada kesempatan tersebut Nabi diambil dari tempat tidurnya, lalu dibawa ke langit. Selama waktu itu ia menyaksikan surga-neraka, berbicara dengan Tuhan sembilan puluh ribu kali, mengalami pelbagai kejadian lain – dan dikembalikan ke kamarnya sementara tempat tidurnya masih hangat. Kendi air yang terguling karena tersentuh Nabi waktu berangkat, airnya masih belum habis ketika Nabi turun kembali.

Beberapa orang berpendapat bahwa hal itu benar, sebab ukuran waktu di sini dan di sana berbeda. Namun sultan menganggapnya tidak masuk akal.

Para ulama cendekia itu semuanya mengatakan bahwa segala hal bisa saja terjadi karena kehendak Tuhan. Hal itu tidak memuaskan sultan.

Berita perbedaan pendapat itu akhirnya didengar oleh Sufi Syeh Shabuddin, yang segera saja menghadap sultan. Sultan menunjukkan kerendahan hati kepada sang guru yangn berkata, ”Saya bermaksud segera saja mengadakan pembuktian.”

Di ruang pertemuan itu terdapat empat jendela. Sang Syeh memerintahkan agar yang sebuah dibuka. Sultan melihat keluar melalui jendela itu. Di pegunungan nun jauh di sana terlihat olehnya sejumlah besar prajurit menyerang, bagaikan semut banyaknya, menuju ke istana. Sang Sultan sangat ketakutan.

”Lupakan saja. Tak ada apa-apa,” kata Syeh itu. Ia menutup jendela itu lalu membukanya kembali. Kali ini tak ada seorang prajurit pun yang tampak.

Ketika ia membuka jendela yang lain, kota di luar tampak terbakar. Sultan berteriak ketakutan.

”Jangan bingung, Sultan; tak ada apa-apa,” kata Syeh itu. Ketika jendela itu ditutup lalu dibuka kembali, tak ada api sama sekali.

Ketika jendela ketiga dibuka, terlihat banjir besar mendekati istana. Kemudian ternyata lagi bahwa banjir itu tidak ada.

Jendela keempat dibuka, dan yang tampak bukan padang pasir seperti biasanya, tetapi sebuah taman firdaus. Dan setelah jendela ditutup lagi - lalu dibuka, pemandangan itu tak ada.

Kemudian Syeh meminta sekuali air, dan meminta sultan memasukkan kepalanya dalam air sesaat saja. Segera setelah sultan melakukan itu, ia merasa berada di sebuah pantai yang sepi, di tempat yang sama sekali tak dikenalnya.

Karena kekuatan gaib syeh itu, sultan marah sekali dan ingin membalas dendam.

Segera saja Sultan bertemu dengan beberapa orang penebang kayu yang menanyakan identitasnya. Karena sulit menjelaskan siapa dia sebenarnya, Sultan mengatakan bahwa ia terdampar di pantai itu karena kapalnya pecah. Mereka memberinya pakaian, dan ia pun berjalan ke sebuah kota. Di kota itu ada seorang tukang besi yang melihatnya hidup menggelandang, dan bertanya siapa dia sebenarnya. Sultan menjawab bahwa ia seorang pedagang yang terdampar, hidupnya tergantung pada kebaikan hati penebang kayu, dan tanpa memiliki pekerjaan.

Orang itu kemudian menjelaskan tentang kebiasaan kota tersebut. Semua pendatang baru bisa meminang wanita yang pertama ditemuinya, meninggalkan tempat mandi, dan si wanita itu harus menerimanya.

Sultan itu pun lalu pergi ke tempat pemandian umum, menunggu di luar, dan dilihatnya seorang gadis cantik keluar dari tempat itu. Ia bertanya apakah gadis itu sudah kawin; ternyata sudah. Jadi ia harus menunggu gadis berikutnya keluar dari tempat itu, yang ternyata berwajah sangat buruk. Dia terus menunggu sampai akhirnya keluar seorang gadis yang sungguh-sungguh molek. Katanya ia belum kawin. Tetapi ia menolak Sultan karena tubuh dan bajunya yang compang-camping.

Beberapa lama kemudian, seorang laki-laki berdiri di depan Sultan dan katanya, ”Aku disuruh kemari menjemput seorang yang berpenampilan kusut di sini. Ayo ikut aku.”

Sultan pun mengikuti pelayan itu. Dia dibawa ke sebuah rumah yang sangat indah. Ia dipersilakan masuk dan duduk di dalam salah satu ruangannya yang megah berjam-jam lamanya.

Akhirnya muncul empat orang wanita cantik dan berpakaian indah, mengantarkan wanita kelima yang lebih cantik lagi. Sultan mengenal wanita itu sebagai wanita terakhir yang ditemuinya di pemandian umum tadi.

Wanita itu mengucapkan selamat datang dan mengatakan bahwa ia telah bergegas pulang untuk menyiapkan penyambutan kepadanya, dan bahwa penolakannya tadi itu sebenarnya sekadar merupakan basa-basi saja, yang dilakukan oleh setiap wanita apabila berada di jalan.

Kemudian menyusul makanan-makanan yang lezat, jubah yang sangat indah disiapkan untuknya, dan musik yang merdu pun diperdengarkan.

Sultan tinggal selama tujuh tahun bersama istrinya itu, sampai ia menghambur-hamburkan habis warisan istrinya. Kemudian wanita itu mengatakan bahwa kini sultanlah yang harus menanggung hidup keduanya – bersama ketujuh anak mereka.

Ingat pada sahabatnya yang pertama di kota itu, Sultan pun kembali menemui tukang besi untuk meminta nasihat. Karena Sultan tidak memiliki keterampilan apapun untuk bekerja, ia disarankan pergi ke pasar menjadi kuli angkut barang dagangan.

Dalam sehari, meskipun telah mengangkat beban yang sangat berat, ia hanya bisa mendapatkan sepersepuluh dari uang yang dibutuhkannya untuk menghidupi keluarganya.

Hari berikutnya Sultan pergi ke pantai, dan ia sampai di tempat pertama kali dulu ia muncul di sini, tujuh tahun silam. Ia pun memutuskan untuk sembahyang, dan mengambil air wudlu. Saat membasuh mukanya, mendadak ia telah kembali ke istananya, bersama-sama dengan Syeh itu dan semua pengawalnya.

”Tujuh tahun dalam pengasingan, hai orang jahat!” teriak Sultan kepada Syeh, ”Tujuh tahun, menghidupi keluarga, dan harus menjadi kuli! Apakah kau tidak takut kepada Tuhan sehingga berani melakukan hal itu terhadapku?”

”Tetapi kejadian itu hanya sesaat,” kata Guru Sufi tersebut, ”Yakni saat baginda mencelupkan wajah ke air itu.”

Para pegawai istana membenarkan perkataan sang guru Sufi.

Sultan sama sekali tak bisa mempercayai sepatah katapun. Ia segera memerintahkan pengawal memenggal kepala Syeh itu. Karena merasa hal itu akan terjadi, Syeh menunjukkan kemampuan dalam ilmu gaib dengan melenyapkan diri dari istana dan tiba-tiba berada di Damaskus, yang jaraknya berhari-hari perjalanan dari istana.

Dari Damaskus ia menulis surat kepada Sultan.

”Tujuh tahun berlalu bagi tuan, seperti yang telah tuan rasakan sendiri; padahal hanya sesaat saja wajah tuan tercelup di air. Hal tersebut terjadi karena adanya kekuatan-kekuatan tertentu, yang hanya dimaksudkan untuk membuktikan apa yang bisa terjadi. Bukankah menurut kisah itu, tempat tidur rasulullah masih hangat dan kendi air itu belum habis isinya?

Yang penting bukan terjadi atau tidaknya peristiwa itu (Mi’raj), namun yang terpenting adalah makna kenyataan itu. Dalam hal tuan, tak ada makna sama sekali. Dalam hal Rasulullah, peristiwa itu mengandung makna yang dalam.”


Mimpi Tiga Musafir dan Sepotong Roti 


Tiga orang musafir menjadi sahabat dalam suatu perjalanan yang jauh dan melelahkan; mereka bergembira dan berduka bersama, mengumpulkan kekuatan dan tenaga bersama.

Setelah berhari-hari lamanya, mereka menyadari bahwa yang mereka miliki tinggal sepotong roti dan seteguk air dalam kendi. Mereka pun bertengkar tentang siapa yang berhak memakan dan meminum sisa bekal tersebut. Karena tidak berhasil mencapai kata mufakat, akhirnya mereka memutuskan untuk membagi saja makanan dan minuman itu menjadi tiga. Namun, tetap saja mereka tidak sepakat.

Malam pun turun. Salah seorang mengusulkan agar tidur saja. Kalau besok mereka bangun, orang yang telah mendapatkan mimpi yang paling menakjubkan akan menentukan apa yang harus dilakukan.

Pagi berikutnya, ketiga musafir itu bangun ketika matahari terbit.

”Inilah mimpiku,” kata musafir pertama, ”Aku berada di tempat-tempat yang tidak bisa digambarkan, begitu indah dan tenang. Aku berjumpa dengan seorang bijaksana yang mengatakan kepadaku, ’kau berhak makan makanan itu sebab kehidupan masa lampau dan masa depanmu berharga dan pantas mendapatkan pujian.’”

”Aneh sekali,” kata musafir kedua, ”Sebab dalam mimpiku, aku jelas-jelas melihat segala masa lampau dan masa depanku. Dalam masa depanku, kulihat seorang lelaki maha tahu berkata, ’kau berhak akan makanan itu lebih dari kawan-kawanmu, sebab kau lebih berpengetahuan dan lebih sabar. Kau harus cukup makan, sebab kau ditakdirkan untuk menjadi penuntun manusia.’”

Musafir ketiga berkata, ”Dalam mimpiku aku tak melihat apapun, tak berkata apapun. Aku merasakan suatu kekuatan yang memaksaku bangun, mencari roti dan air itu, lalu memakannya di situ juga. Nah, itulah yang kukerjakan semalam.”


Santapan dari Surga 


Yunus putra Adam pada suatu hari memutuskan untuk tidak sekadar menyerahkan hidupnya pada nasib, tetapi mencari cara dan alasan penyediaan kebutuhan manusia.

“Aku manusia,” katanya kepada dirinya sendiri. “Sebagai manusia aku mendapat sebagian dari kebutuhan dunia, setiap hari, didukung oleh usaha orang lain juga. Dengan menyederhanakan proses ini, aku akan mencari tahu bagaimana cara makanan mencapai manusia, dan belajar sesuatu mengenai bagaimana dan mengapanya. Daripada hidup di dunia kacau-balau ini, di mana makanan dan kebutuhan lain jelas datang melalui masyarakat, aku akan menyerahkan diriku kepada Penguasa langsung yang memerintah segalanya. Pengemis hidup lewat perantara: lelaki dan wanita pemurah yang erelakan sebagian hartanya berdasarkan desakan hati yang tidak sepenuh-penuhnya. Mereka melakukan itu karena telah didik berbuat demikian. Aku tidak mau menerima sumbangan yang tidak langsung itu.”

Selesai berbicara sendiri, iapun berjalan ke tempat terpencil, menyerahkan dirinya kepada bantuan kekuatan gaib dengan keyakinan yang sama seperti ketika ia menyerahkan dirinya kepada bantuan yang kasat mata, yakni ketika ia dulu menjadi guru di sebuah sekolah.

Ia pun jatuh tertidur, yakin Allah akan mengurus kebutuhannya sebaik-baiknya, sama seperti burung-burung dan binatang lain mendapatkan keperluannya di dunia mereka sendiri.

Waktu subuh, kicau burung membangunkannya, dan anak Adam itu mula-mula berbaring saja, menanti munculnya makanan. Meskipun ia mula-mula sepenuhnya menyerahkan dirinya kepada kekuatan gaib dan yakin bahwa ia akan mampu memahaminya kalau kekuatan gaib itu mulai bekerja di tempat itu, Yunus segera menyadari bahwa renungan saja tidak akan banyak membantunya di medan yang tidak biasa ini.

Ia berbaring di tepi sungai, dan menghabiskan seluruh hari memperhatikan alam, mengintai ikan di sungai, dan bersembahyang. Satu demi satu lewatlah orang-orang kaya dan berkuasa, disertai pengiring yang naik kuda bagus-bagus; terdengar kelinting pakaian kuda menandakan keyakinan jalan yanng ditempuhnya, dan mendengar salam orang-orang itu karena mereka melihat ikat kepala yang dikenakannya. Kelompok-kelompok peziarah beristirahat dan mengunyah kue kering dan keju, dan air liurnya pun semakin mengucur membayangkan makanan yang paling sederhana.

“Ini hanya ujian, dan semua akan segera berlalu,” pikir Yunus, ketika ia selesai mengerjakan sembahyang Isya, dan memulai tepekurnya menurut cara yang pernah diajarkan kepadanya oleh seorang darwis yang memiliki pandangan taja dan luhur dalam mencapai tujuan.

Malam pun berlalu.

Dan Yunus sedang duduk menatap berkas-berkas sinar matahari yang patah-patah terpantul di Sungai Tigris yang agung, ketika lima jam sesudah subuh, pada hari kedua, tampak olehnya sesuatu menyembul-menyembul di antara alang-alang. Barang itu ternyata sebuah bungkusan daun yang diikat dengan serabut kelapa. Yunus putra Adam terjun ke sungai dan mengambil benda aneh itu.

Beratnya sekitar setengah kilogram. Ketika dibukanya pengikat itu, bau yang sedap menyerang lubang hidungnya. Yunus rupanya mendapatkan sebungkus halwa Baghdad. Halwa adalah makanan yang dibuat dari cairan buah badam, air, mawar, madu, dan kacang – dan pelbagai bahan lain yang berharga – oleh karenanya sangat digemari karena rasanya yang enak dan khasiatnya yang tinggi bagi kesehatan. Putri-putri cantik menghuni harem menggigit-gigitnya karena rasanya yang enak; dan para prajurit membawanya ke medan perang karena bisa menimbulkan ketahanan tubuh. Ia pun bisa dipergunakan untuk mengobati seratus macam penyakit.

“Keyakinanku terbukti!” kata Yunus. “Dan kini tinggal mengujinya. Jika ada halwa yang sebesar ini, atau makanan yang sama, diantarkan kepadaku lewat sungai ini setiap hari, atau pada waktu-waktu yang teratur, aku akan mengetahui cara yang ditempuh oleh Sang Pemelihara untuk memberi makanan padaku. Dan sesudah itu aku bisa menggunakan akalku untuk mencari sumbernya.”

Tiga hari berturut-turut setelah itu, pada jam-jam yang tepat sama, sebungkus halwa terapung menuju ke tempat Yunus.

Ia berkeyakinan kuat bahwa hal itu merupakan penemuan yang maha penting. Kita sederhanakan saja keadaan kita, dan Alam terus menjalankan tugasnya dengan cara yang kira-kira sama. Hal itu saja merupakan penemuan yang dirasanya harus disebarkan ke seluruh dunia. Bukankah sudah dikatakan, “Kalau kau mengetahui sesuatu, ajarkan itu”?

Namun kemudian disadarinya bahwa ia tidak mengetahui, ia baru mengalami. Langkah berikutnya yang harus ditempuh adalah mengikuti jalan halwa itu mudik sampai mencapai sumbernya. Tentu ia nanti tidak hnya mengetahui asal-usulnya, tetapi juga cara bagaimana makanan itu sengaja disediakan untuk dimakannya.

Berhari-hari lamanya Yunus mengikuti alur sungai. Setiap hari secara teratur tetapi pada waktu yang semakin lama semakin awal halwa itu muncul, dan Yunus memakannya.

Akhirnya Yunus melihat bahwa sungai itu bukannya tambah sempit di udik, tetapi malah melebar. Di tengah-tengah sungai yang luas itu terdapat sebidang tanah yang amat subur. Di tanah itu berdiri sebuah istana yang kokoh namun indah. Dari sanalah, pikirnya, makanan itu berasal.

Ketika ia sedang memikirkan langkah berikutnya Yunus melihat seorang darwis yang tinggi dan kurus, yang rambutnya kusut bagaikan pertapa dan pakaiannya bertambal warna-warni, berdiri di hadapannya.

“Salam, bapak,” kata Yunus.

“Salam, huuu!” jawab sang pertapa dengan suara keras, “Apa pula urusanmu di sini?”

“Saya melakukan suatu penyelidikan suci,” Yunus menjelaskan, “dan saya harus mencapai benteng di seberang itu untuk menyempurnakannya. Barangkali bapak mengetahui akal agar saya bisa ke sana?”

“Karena kau tampaknya tak mengetahui apa-apa tentang benda itu, walaupun aku sendiri menaruh minat padanya,” kata pertapa itu, “akan kuberi tahu juga kau tentangnya.”

Pertama-tama, putri seorang raja tinggal di sana, dalam tawanan dan pembuangan, dijaga oleh sejumlah dayang-dayang jelita. Memang enak, tetapi terbatas juga geraknya. Sang putri tidak bisa melarikan diri sebab lelaki yang menangkap dan memenjarakannya di sana – karena sang putri menolak lamarannya – telah mendirikan rintangan-rintangan yang kokoh tak terlampaui, yang tak tampak oleh mata. Kau harus mengungguli rintangan-rintangan itu agar bisa memasuki benteng dan mencapai tuanmu.”

“Bapak bisa menolong saya?”

“Aku sendiri sedang akan memulai perjalanan khusus demi pengabdian. Tetapi kukatakan padamu rahasia sepatah kata, Wazifa, yang – kalau memang sesuai untuk itu – akan mebantumu mengumpulkan kekuatan gaib para jin berbudi, makhluk api, yakni satu-satunya makhluk yang dapat mengungguli kekuatan sihir yang telah mengunci benteng tersebut. Semoga kau selamat.” Dan pertap[a itupun pergi, setelah mengucapkan suara-suara aneh berulang-ulang dan bergerak tangkas dan cekatan, sangat mengagumkan mengingat sosoknya yang patut dimuliakan itu.

Berhari-hari lamanya Yunus duduk latihan dan memperhatikan munculnya halwa. Kemudian, pada suatu malam ketika sedang disaksikannya matahari bersinar-sinar di menara benteng, tampak olehnya pemandangan yang aneh. Disana, berkilauan dalam keindahan surgawi, berdirilah seorang gadis yang tentunya putri yang dikisahkan itu. Beberapa saat alamanya ia berdiri menyaksikan matahari, dan kemudian menjatuhkan sesuatu ke ombak yang mengalun jauh di bawah kakinya – yang dijatuhkannya itu adalah halwa. Nah, ternyata itulah sumber langsung karunianya.

”Sumber makanan surga!” teriak yunus. Kini ia merasa berada di ambang kebenaran. Kapan pun nanti, Pemimpin Jin, yang dipanggil-panggilnya lewat Wasifa darwis, tentu datang, dan akan dapatlah ia mencapai benteng, putri, dan kebenaran itu.

Tidak berapa lama sesudah pikiran itu melintas di benaknya, ia merasa dirinya terbawa terbang melewati langit yang tampaknya seperti kerajaan dongeng, penuh dengan rumah-rumah yang indah mengagumkan. Ia memasuki salah satunya, dan disana berdiri seorang makhluk bagai manusia, yang sebenarnya bukan manusia: tampaknya masih muda, namun bijaksana, dan jelas sudah sangat tua. ”Hamba,” kata makhluk itu, ”adalah Pemimpin Jin, dan hamba telah membawa Tuan kemari sesuai dengan permintaan Tuan melalui Nama Agung yang telah diberikan kepada Tuan oleh Sang Darwis Agung. Apa yang bisa hamba lakukan untuk Tuan?”

”O Pemimpin jin yang perkasa,” kata Yunus gemetar, ”aku Pencari Kebenaran, dan jawaban bagi pencarianku itu hanya bisa aku dapatkan di dalam benteng yang mempesona di dekat tempatku berdiri ketika kau memanggilku kemari. Berilah aku kekuatan untuk memasuki benteng itu dan untuk berbicara kepada putri yang terkurung di sana.”

”Permohonan dikabulkan!” kata Sang Pemimpin Jin. ”Tetapi ketahuilah, orang mendapatkan jawaban bagi pertanyaannya sesuai dengan kemampuannya memahami dan persiapannya sendiri.”

”Kebenaran tetap kebenaran,” kata Yunus, ”dan aku akan mendapatkannya, apa pun juga ujudnya nanti. Berikanlah anugerah itu.”

Segera saja Yunus dikirim cepat-cepat – dengan kekuatan sihir Jin - dalam keadaan tak kelihatan, dikawal oleh sekelompok jin kecil-kecil sebagai pembantunya, yang oleh Pemimpinnya diberi tugas mempergunakan kepandaian khususnya untuk membantu manusia yang sedang mencari kebenaran itu. Di tangan Yunus ada sebuah batu cermin khusus yang menurut petunjuk Pemimpin Jin harus diarahkan ke benteng untuk melihat rintangan-rintangan yang tak kelihatan.

Lewat batu itulah Yunus anak Adam mengetahui bahwa benteng tersebut dijaga oleh sederet raksasa, tak tampak tetapi mengerikan, yang menghantam siapapun yang mendekat. Jin-jin pembantu yang ahli dalam tugas khusus berhasil menyingkirkan mereka. Berikutnya Yunus melihat ada semacam jala yang tak kelihatan manusia biasa, yang menutupi seluruh benteng itu. Itu pun bisa disingkirkan oleh jin-jin yang memiliki kecerdikan untuk melaksanakan tugasnya. Akhirnya ada seonggok batu besar yang tak kelihatan yang ternyata memenuhi jarak antara benteng dan tepi sungai. Batu-batu itu dibongkar semua oleh kelompok jin tersebut, yang setelah menjalankan tugas-tugasnya, memberi salam lalu pergi secepat kilat ke tempat asalnya.

Yunus menyaksikan ada sebuah jembatan yang denngan kekuatan gaib, muncul dari dasar sungai sehingga ia bisa berjalan sampai ke benteng itu dengan kaki tetap kering. Seorang pengawal gerbang langsung membawanya menghadap Sang Putri, yang kini bahkan tampak lebih elok lagi daripada dulu ketika pertama kali tampak.

”Kami sangat berterima ksih kepada Tuan karena telah menghancurkan rintangan yang mengurung benteng ini,” kata Sang Putri, ”dan sekarang saya bisa pulang ke ayah saya dan ingin sekali memberi hadiah Tuan yang telah bersusah payah selama ini. Katakan, sebut apa saja, dan saya akan memberikannya kepada Tuan.”

”Mutiara tiada tara,” kata Yunus, ”hanya ada satu hal yang saya cari, yakni kebenaran. Karena sudah merupakan kewajiban siapapun yang bisa memanfaatkannya. Saya memohon dengan sangat, Yang Mulia, agar memberikan kebenaran yang sangat saya butuhkan.”

”Katakan, dan kebenaran yang bisa saya berikan, akan sepenuhnya menjadi milik Tuan.”

”Baiklah, Yang Mulia. Bagaimana dan atas perintah siapa makanan surga, yakni halwa yang setiap harinya Tuan Putri berikan kepada saya itu, diatur pengirimannya secara demikian?”

”Yunus, anak Adam,” kata Sang Putri, ”halwa, begitu nama yang kau berikan, yang saya lemparkan setiap hari itu sebenarnya tak lain sisa-sisa bahan perias yang saya gosok setelah saya mandi air susu keledai.”

Yunus tertegun.

”Akhirnya saya memahami,” kata Yunus beberapa saat setelah terdiam, ”bahwa pengertian manusia sesuai dengan syarat kemampuannya untuk mengerti. Bagi Tuan Putri, itu merupakan sisa bahan perias. Bagi saya, itu adalah makanan surga.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar