SMS GRATIS

Minggu, 17 Juli 2011

Petani Sumenep Tanam Padi Berteknologi Nuklir

Petani padi di Desa Bilapora Barat, Kecamatan Ganding, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, menguji coba penanaman benih padi berteknologi nuklir yang disebut Mira 1. "Ini sudah penanaman turunan kedua padi nuklir," kata Hamsu, salah seorang penanam bibit padi nuklir.




Menurut dia, bibit padi nuklir tersebut diberi oleh Fakultas Pertanian Universitas Wiraraja Sumenep dan Desa Bilaporah Barat dipilih sebagai desa percontohan penanaman. "Dibanding bibit padi biasa, padi nuklir bulirnya lebih banyak," ujarnya.

Meski lebih menguntungkan secara ekonomi, Hamsu dan puluhan petani lainnya khawatir akan dampak negatif yang mungkin muncul. Walau demikian, sejauh ini tidak ada dampak negatif yang terjadi.

"Meski menanam, saya tidak pernah makan hasilnya. Takut karena ada nuklirnya," katanya sembari tertawa.

Rektor Universitas Wiraraja Sumenep, Alwiyah membenarkan pihaknya mengembangkan penanaman padi berteknologi nuklir di Desa Bilapora Barat.

Kegiatan itu, kata dia, atas kerja sama Universitas Wiraraja dengan Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) antara 2005 hingga 2009 lalu. "Kami ingin kerja sama lagi dengan BATAN karena hasil padi nuklirnya bagus," tuturnya.



                       Rencana pembangunan reaktor nuklir di Sumenep


Alwiyah meminta media berhati-hati memberitakan soal padi nuklir ini. Dia khawatir masyarakat salah persepsi dan akhirnya menolak menanam padi nuklir.

"Dengar kata Nuklir, warga pasti menolak. Padahal, kami hanya kerja sama di bidang iptek pertanian dan perternakan, bukan pembangkitnya," ujarnya.

Dia menambahkan, selain bibit padi nuklir Mira 1, pihaknya juga mengembangkan suplemen penggemuk sapi memanfaatkan teknologi nuklir yang diberi nama suplemen pakan multinutrisi.

Suplemen ini juga terbukti ampuh menggemukkan sapi. "Perbandingannya, sapi diberi suplemen ini bobotnya lebih berat 0,5 kilogram dibanding sapi lain," ujarnya.

Alwiyah memastikan, meski memanfaatkan teknologi nuklir, tidak ada dampak buruk bagi kesehatan masyarakat.

Sabtu, 16 Juli 2011

Keutamaan Malam Nishfu Sya'ban

Nisfu Sya’ban artinya pertengahan bulan Sya’ban, atau malam ke-15 bulan Sya’ban, tepat di bulan purnama. Kaum muslimin meyakini adanya fadhilah (keutamaan) khusus di malam ini, layaknya beberapa malam yang memang Allah istimewakan seperti malam Jum’at, lailatul qadr dan lain-lain.

Keutamaan khusus pada malam pertengahan (malam tanggal 15) bulan Sya’ban ini memang diceritakan dalam beberapa hadits. Bahkan, ada juga beberapa hadits yang menjelaskan amalan khusus berupa shalat tertentu di malam hari, puasa di siang hari serta beberapa wirid khusus.

Akan tetapi semua hadits yang mengatakan adanya amalan khusus di malam nisfu Sya’ban ini tidak ada yang selamat dari kritikan sanad. Padahal, kita tahu bahwa untuk mengamalkan sebuah syariat khusus diperlukan dalil yang valid berupa Al Qur`an, hadits shahih dan hasan. Sedangkan hadits dha’if tidak bisa diamalkan bila menyangkut adanya hukum baru dan bukan sekedar fadhilah amal.

Para ulama ahli hadits sendiri sudah memastikan tidak ada hadits yang bisa dipakai landasan beramal tentang shalat khusus di malam nishfu Sya’ban, semua hadits tentang itu sanadnya lemah atau bahkan palsu.

Beberapa komentar ulama hadits dalam masalah ini:

·Asy-Syaukani menyebutkan dua hadits khusus tentang shalat nishfu Sya’ban dalam kitabnya, Al-Fawa`id Al-Majmu’ah yaitu di nomor 105 dan 106. Lalu beliau berkata, ”Hadits tentang shalat nishfu Sya’ban itu batil.” Lalu dia menjelaskan bahwa yang batil adalah hadits tentang shalat khusus di malam itu, lain halnya dengan keutamaan malam nishfu Sya’ban itu sendiri yang dijelaskan oleh hadit-hadits lain. (lihat: Al-Fawa`id Al-Majmu’ah fii Ahaadits Al-Mawdhu’ah, juz 1 hal. 51).

·Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim Ibnu Taimiyah ketika ditanya tentang shalat malam nishfu Sya’ban maka beliau menjawab, ”Apabila seseorang shalat sendirian atau berjamaah di masjid sebagaimana yang biasa diamalkan sebagian salaf maka itu lebih baik. Sedangkan shalat khusus berjamaah seperti halnya shalat seratus rakaat dengan membaca surah Al-Ikhlas seribu kali adalah bid’ah dan tak pernah dianjurkan seorangpun dari para imam.” (Majmu’ Al-Fatawa, juz 23, hal. 131). Lalu di halaman 134 dia menjelaskan bahwa semua hadits tentang shalat khusus di malam tertentu dengan cara tertentu termasuk di malam nishfu Sya’ban sanadnya palsu.

·Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah juga memastikan tak ada hadits yang shahih tentang shalat khusus di malam nisfhu Sya’ban. (Lihat: Al-Manar Al-Munif, hal. 98 pasal 22).

Ini berkenaan dengan shalat khusus di malam nishfu Sya’ban dengan cara dan bentuk tertentu. Lalu bagaimana dengan shalat biasa yang dilakukan di malam itu seperti halnya shalat tahajjud serta puasa di dalamnya?

Seperti dalam jawaban Ibnu Taimiyah diatas bahwa beliau menganggap itu boleh-boleh saja dilakukan, tapi bukan shalat khusus melainkan shalat malam biasa seperti halnya tahajjud. Apalagi ternyata memang malam nishfu Sya’ban ini benar mengandung keistimewaan tersendiri sebagaimana yang akan dijelaskan sebentar lagi.

Tetapi satu hal yang perlu diingat bahwa Ibnu Majah meriwayatkan sebuah hadits dari Ali RA dan dianggap shahih oleh Ibnu Hibban, hadits itu adalah:

حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْخَلَّالُ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَنْبَأَنَا ابْنُ أَبِي سَبْرَةَ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَعْفَرٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَهَا وَصُومُوا نَهَارَهَا فَإِنَّ اللَّهَ يَنْزِلُ فِيهَا لِغُرُوبِ الشَّمْسِ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُولُ أَلَا مِنْ مُسْتَغْفِرٍ لِي فَأَغْفِرَ لَهُ أَلَا مُسْتَرْزِقٌ فَأَرْزُقَهُ أَلَا مُبْتَلًى فَأُعَافِيَهُ أَلَا كَذَا أَلَا كَذَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ

“Al Hasan bin Ali Al Khallal menceritakan kepada kami, Abdurrazzaq menceritakan kepada kami, Ibnu Abi Sabrah memberitakan kepada kami, dari Ibrahim bin Muhammad, dari Mu’awiyah bin Abdullah bin Ja’far, dari ayahnya, dari Ali bin Abu Thalib, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Jika datang malam pertengahan bulan Sya’ban maka lakukan shalat malam padanya dan berpuasalah pada siang harinya. Karena sesungguhnya Allah turun ke langit dunia di dalamnya sampai matahari terbenam. Saat itu Allah berfirman, “Apakah ada yang akan meminta ampun? Pasti aku ampuni. Apakah ada yang minta rezki? Pasti aku beri. Apakah ada yang mendapat musibah? Pasti aku selamatkan dia…..dan seterusnya sampai terbit fajar.” (Sunan Ibnu Majah, no. 1388).

Padahal hadits ini sanadnya palsu, karena di dalamnya ada nama: Ibnu Abi Sabrah yang dituduh sebagai pemalsu hadits, maka semua hadits yang melalui jalurnya adalah palsu.

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani mengomentari pribadi Abu Bakar bin Abdullah ini: ”Para ulama menuduhnya memalsukan hadits.” (Taqrib At-Tahdzib, juz 2 hal. 242, bab: Al-Kuna).

Akan tetapi ada satu hadits dari Mu’adz bin Jabal ra, yang menerangkan keutamaan malam nishfus Sya’ban secara umum, tapi tidak menerangkan adanya amalan khsusus. Hadits itu adalah riwayat dari Mu’adz bin Jabal ra, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda,

يطلع الله إلى خلقه في ليلة النصف من شعبان فيغفر لجميع خلقه إلا لمشرك أو مشاحن

”Allah mengamati para makhluk-Nya di malam pertengahan bulan Sya’ban dan Dia mengampuni semua makhluk-Nya kecuali yang musyrik dan orang yang memusuhi orang lain (tanpa alasan benar).”

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam shahihnya, Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra dan Ath-Thabarani dalam Al-Awsath. Hadits ini dianggap shahih oleh Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah, no. 1114).

Ada beberapa riwayat lain yang senada dengan sanad yang lemah tapi menguatkan sanad hadits di atas, antara lain dari Abu Musa Al-Asy’ari, Abu Bakr Ash-Shiddiq, Aisyah.

Masing-masing riwayat punya cacat ringan, tapi bisa saling menguatkan. sehingga hadits tersebut berstatus hasan lighairih. Bahkan Syekh Al-Albani juga memasukkan hadits Abu Musa Al-Asy’ari yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam As-Silsilah Ash-Shahihah, no. 1563.

Jadi, berpedoman kepada hadifts Mu’adz ini maka benar adanya keistimewaan khusus pada malam nishfu Sya’ban, sehingga hendaklah menggiatkan ibadah pada malam itu dengan shalat malam, banyak istighfar, berdoa, membaca Al-Qur`an dan lain sebagainya. Sedangkan puasa di siang harinya juga sunnah, bukan berdasarkan hadits yang lemah, melainkan hadits sunnahnya puasa tanggal 13, 14, dan 15 setiap bulan, serta hadits-hadits yang menganjurkan banyak puasa di bulan Sya’ban. Wallahu a’lam.

Untuk sementara ini yang bisa saya tulis, semoga bermanfaat bagi kita semua terutama bagi diri saya pribadi yang banyak kekurangan ini.

Rabu, 13 Juli 2011

Maksimalisasi Amal Shaleh ; Sebuah Refleksi Nilai Takwa Pasca Ramadhan

Bagi seorang muslim, Ramadhan dengan deretan amal shaleh, baik dalam tataran ibadah fardiyah yang lebih terfokus pada aspek pembinaan kepribadian (mis: sholat, puasa, tilawah al-Qur'an, i'tikaf dll ) ataupun dalam tataran ibadah ijtimaiyah yang lebih mengedepankan nilai sosial dalam bentuk kepedulian terhadap sesama (zakat, shodaqah, memberi buka puasa dan hidangan sahur dll) adalah merupakan sarana-sarana mewujudkan ketakwaan yang hakiki dalam bulan yang mulia ini.

Tetapi, akan sangat disayangkan apabila nilai-nilai positif ini berakhir bersamaan dengan berakhirnya musim ketaatan ini. Adalah hal yang aneh, jika seorang muslim yang begitu khusyu' dan bergairah melaksanakan amalan-amalan mulia di bulan yang penuh berkah ini, lantas setelah Ramadhan ia kembali melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai ketakwaan yang telah ia semai selama rentan waktu sebulan penuh. Apa yang patut kita banggakan bila Ramadhan hanya diakhiri dengan euforia baju baru, penganan lebaran dan tradisi mudik tahunan?. Sungguh bijak seorang penyair Arab yang berkata:

Laisa al-'iidu man labisa al-jadid Walakin al-'iid man tho'atuhu taziid

(Hari Raya bukanlah ditandai dengan pakaian baru, tetapi hakikat hari raya adalah siapa yang ketaatannya bertambah maju)

Muslim yang sadar akan makna Ramadhan adalah yang akan terus memelihara interaksinya dengan Allah Ta'ala dengan mengaplikasikan nilai-nilai kebajikan meskipun ia telah tamat dari Madrasah Ramadhaniyah. Ia sangat yakin bahwa esensi ketakwaan seharusnya dapat tetap disemai dan ditumbuhsuburkan pada kurang lebih 330 hari pasca Ramadhan. Ia adalah sosok yang tetap istiqomah berusaha untuk shaleh terhadap dirinya dan kepada sesama, bahkan kepada makhluk yang lain, meskipun tidak diiming-imingi dengan ganjaran pahala yang belipat ganda seperti dalam Ramadhan.

Setidaknya ada empat prinsip yang dapat kita tangkap dalam merefleksikan nilai takwa sebagai sarana untuk memaksimalkan potensi amal shaleh pasca Ramadhan:

1. Prinsip Fastabiqul khaerat

Bersegara dalam merebut setiap peluang untuk melakukan kebaikan merupakan salah satu ciri orang yang bertakwa (al-Imran: 133). Selain Fastabiqul khaeraat (al-Baqarah: 148), ada beberapa bentuk seruan Allah dalam al-Qur'an yang memotivasi kita untuk bersegera untuk melakukan kebajikan dan tidak menjadi orang yang selalu menunda amalan. Kata-kata Wasaari'uu (bersegeralah kalian) (al-Imran :133), Wasaabiquu (berlomba-lombalah kalian) ( (al-Hadiid:21), Wafidzalika falyatanaafasil mutanaafisun (Dan pada yang seperti itu hendaklah kalian saling bersaing) (al-Muthaffifiin:26) semuanya bermuara kepada makna agar setiap muslim memanfaatkan peluang kebajikan dengan segera dan menjadi yang terbaik (menjadi pemenang dan bukan pecundang) dalam setiap amal shaleh yang dikerjakan. Allah memuji Nabi Zakariya 'Alaihissalam beserta keluarga beliau karena telah berhasil mengejawantahkan prinsip ini dalam bingkai yang terbaik. Allah berfirman :

"Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam mengerjakan perbuatan-perbuatan baik dan mereka berdo'a kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu' kepada Kami. (al-Anbiyaa': 90).

Ternyata kekhusyukan Zakariya 'alaihissalam adalah kekhusyukan yang berdimensi semangat untuk bersegera dalam melakukan kebajikan.

2. Prinsip Mujahadah (Kesungguhan)

Melakukan amal shaleh secara maksimal membutuhkan pengorbanan (tadhiyah). Ubay bin Ka'ab mengilustrasikan bahwa ketakwaan itu ibarat berjalan di jalan yang penuh duri ia butuh kahati-hatian dan kesungguhan. Ia berangkat dari niat yang ikhlas kemudian secara nyata ditunjukkan dengan amal yang serius dan penuh kesungguhan. Allah Ta'ala memuji dan menjanjikan syurga para pejuang amal shaleh yang dengan serius dan penuh kesungguhan membuktikan bahwa ketakwaan bukan hanya sekedar untaian kata-kata manis dan hiasan bibir tetapi perlu dibuktikan dan ditunjukkan kehadirat Ilahi Rabbi. Allah berfirman :

"Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam, dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun, dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bahagian (tidak meminta-minta). (Adzdzaariyaat : 16-18)

Kesungguhan dalam ibadah tidak hanya nampak dalam ritual ibadah yang bersifat habluminallah tapi ia mempunyai konstribusi yang sangat kuat dalam menghidupkan ibadah yang bernuansa habluminannas dengan berbagi kepedulian terhadap kaum dhu'afa.

Sebagai balasan atas komitmen kesungguhan ini hamba Allah Ta'ala berjanji untuk memberikan petunjuk dan membuka jalan-jalan kebajikan untuknya. Allah Ta'ala berfirman:

"Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami maka Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami". (al-Ankabuut: 69)

3. Prinsip Istimroriyah (Berkesinambungan)

Prinsip menjaga istimroriyah amalan adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam rangkaian ibadah dalam Islam, bahkan ia menjadi satu ruh yang menjiwai amalan tersebut berkwalitas atau tidak. Nabi Shallallahu 'alaihi Wasallam pernah ditanya: "Apakah amalan yang paling dicintai Allah? Beliau menjawab: "Amalan yang dilaksanakan secara berkesinambungan (kontinyu) walaupun sedikit" (HR. Bukhari). Aisyah Ummul Mukminin menjelaskan bahwa Rasulullah adalah orang yang paling konsisten dalam melakukan amalan/ibadah (HR.Muslim). Dalam rangka menjaga kesinambungan amalan, Nabi Shallallahu'alaihi Wasallam juga kadang mengganti (qodho) suatu amalan yang beliau tidak lakukan pada waktunya dikarenakan adanya halangan.

Warna kesinambungan amalan nampak sangat mencolok di tengah aktifitas Ramadhan mulai dari puasa itu sendiri, sholat (wajib dan sunnah), zakat, shodaqah dan amalan-amalan lainnya. Bahkan di luar itu, Islam hanya mensyariatkan satu jenis ibadah yang diperintahkan untuk dilakukan sekali dalam seumur hidup, yaitu ibadah haji, itupun takkala kita mampu menunaikannya. Ini menandakan bahwa semangat menerapkan nilai takwa harus beriringan dengan adanya kesadaran menerapkan kesinambungan serta menjaga konsistensi amalan yang dilakukan.

4. Prinsip Tawazun (Keseimbangan)

Syariat Allah adalah syariat yang dibangun di atas landasan at-taysir wa raf'ul masyaqqah (mudah dan tidak mempersulit). Ia diciptakan untuk manusia yang mempunyai keterbatasan dalam banyak hal. Allah tidak mensyariatkan satu bentuk perintah ataupun larangan kecuali semuanya dalam batasan kesanggupan dan kemampuan manusia itu sendiri. (al-Baqarah : 286).

Maksimalisasi amal shaleh tidak berarti kita harus bersikap ekstrim (ghuluw) dalam mengaktualisasikan ibadah-ibadah yang disyariatkan. Maksimalisasi bermakna melaksanakan ibadah sesuai dengan kesanggupan yang dimiliki asal tidak juga memandang remeh apalagi memudah-mudahkan.

Dalam kitab Shahih al-Bukhari diceritakan perihal tiga orang sahabat yang mendatangi rumah istri-istri Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam untuk mencaritahu tentang ibadah-ibadah Rasulullah. Ketika disampaikan kepada mereka tentang realitas ibadah Rasulullah, merekapun tiba pada kesimpulan bahwa apa yang dilakukan oleh Rasulullah masih sedikit (belum maksimal). Dalam kisah tersebut, masing-masing dari ketiga sahabat itupun berjanji. Sahabat yang pertama berjanji untuk melaksanakan qiyamullail sepanjang malam dan tidak tidur. Yang kedua benjanji untuk berpuasa sepanjang tahun (setiap hari). Dan ketiga berjanji untuk tidak menikah. Mendengar hal tersebut, Rasulullah pun segera menegur ketiganya seraya mengatakan bahwa sunnah (tuntunan) beliau adalah bersikap seimbang dalam ketiga perkara tadi.

Sikap tawazun dalam beramal dan menjauhi paradigma ghuluw merupakan bagian yang terpenting dalam memaksimalkan amal shalih. Menjaga kesederhanaan, keseimbangan dan tetap memperhatikan hak-hak yang lain (hak keluarga, badan dan yang lainnya) inilah yang akan memberikan konstribusi nafas yang panjang dalam pelaksanaan amalan itu sehingga ia tidak menjenuhkan apalagi sampai meninggalkan amalan itu secara total. Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda :

"Bersikap sederhanalah, bersikap seimbanglah pasti kalian akan maksimal". (HR. Bukhari).

Landasan Amal Shaleh

Namun maksimalisasi amal shaleh tidak berarti kita bebas berkreasi untuk menentukan baik dan tidaknya amalan tersebut. Amalan yang berkwalitas (ahsanuamalan) -terutama dalam perkara-perkara ibadah yang bersifat mengikat- adalah amalan yang menepati dua persyaratan mutlak, pertama adalah keikhlasan serta kesucian niat. Dan yang kedua adalah amalan tersebut dilakukan sesuai petunjuk/tuntunan yang disyariatkan. Allah mengancam orang-orang yang telah maksimal beramal, tetapi ketika ia tidak memenuhi dua persyaratan tersebut maka ia tidak memberi keselamatan tetapi menjerumuskannya kepada siksa yang amat pedih. (al-Ghasyiyah : 3-4). Wal'iyadzubillah.

Akhirnya, indahnya dan sejuknya ucapan takbir, tahmid dan tahlil yang kita lantunkan di hari kemenangan -yang merupakan puncak dari aktualisasi amal shaleh Ramadhan- akan semakin terasa indah dan berkesan ketika disertai komitmen yang kuat untuk mempertahankan nilai-nilai takwa dalam meniti hari-hari selanjutnya. Allahu a'lam bisshawab.

Keistimewaan Bulan Ramadhan

tak terasa, sebentar lg kita akan memasuki bulan ramadhan. Ia adalah bulan nan agung dalam agama Islam. Dia berbeda dengan bulan-bulan lainnya karena sejumlah keistimewaan dan keutamaan yang ada padanya. Di antaranya yaitu:

1. Allah Azza wa Jalla menjadikan puasa (di Bulan Ramadhan) merupakan rukun keempat di antara Rukun Islam. Sebagaimana firman-Nya:

( شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدىً لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْه) سورة البقرة: 185

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu”.(SQ. Al-Baqarah: 185)

Terdapat riwayat shahih dalam dua kitab shahih; Bukhari, no. 8, dan Muslim, no. 16 dari hadits Ibnu Umar, sesungguhnya Nabi sallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:

بني الإسلام على خمس شهادة أن لا إله إلا الله , وأن محمدا عبد الله ورسوله , وإقام الصلاة , وإيتاء الزكاة ، وصوم رمضان , وحج البيت.

“Islam dibangun atas lima (rukun); Bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadan dan haji ke Baitullah.”

2. Allah menurunkan Al-Qur’an (di dalam Bulan Ramadan).

Sebagaiamana firman Allah Ta’ala pada ayat sebelumnya,

( شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدىً لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ )

“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)”. (QS. Al-Baqarah: 185)

Allah Ta’ala juga berfirman:

( إنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ ) سورة القدر: 1

“Sesungguhnya Kami turunkan (Al-Qur’an) pada malam Lailatur Qadar.”

3. Allah menetapkan Lailatul Qadar pada bulan tersebut, yaitu malam yang lebih baik dari seribu bulan, sebagaimana firman Allah:

( إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ . وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ . لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ . تَنَزَّلُ الْمَلائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِمْ مِنْ كُلِّ أَمْرٍ . سَلامٌ هِيَ حَتَّى مَطْلَعِ الْفَجْرِ ) سورة القدر: 1-5

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada malam kemuliaan, Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al-Qadar : 1-5).

Dan firman-Nya yang lain:

( إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ إِنَّا كُنَّا مُنْذِرِينَ ) سورة الدخان: 3

“sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi[1369] dan sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan.” (QS. Ad-Dukhan: 3).

Allah telah mengistimewakan bulan Ramadhan dengan adanya Lailaul Qadar. Untuk menjelaskan keutamaan malam yang barokah ini, Allah turunkan surat Al-Qadar, dan juga banyak hadits yang menjelaskannya, di antaranya Hadits Abu Hurairah radhialahu ’anhu, dia berkata: Rasulullah sallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:

أَتَاكُمْ رَمَضَانُ شَهْرٌ مُبَارَكٌ فَرَضَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ , تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ السَّمَاءِ , وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ , وَتُغَلُّ فِيهِ مَرَدَةُ الشَّيَاطِينِ , لِلَّهِ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ, مَنْ حُرِمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حُرِمَ ” رواه النسائي ( 2106 ) وأحمد (8769) صححه الألباني في صحيح الترغيب ( 999 ) .

“Bulan Ramadhan telah tiba menemui kalian, bulan (penuh) barokah, Allah wajibkan kepada kalian berpuasa. Pada bulan itu pintu-pintu langit dibuka, pintu-pintu (neraka) jahim ditutup, setan-setan durhaka dibelenggu. Padanya Allah memiliki malam yang lebih baik dari seribu bulan, siapa yang terhalang mendapatkan kebaikannya, maka sungguh dia terhalang (mendapatkan kebaikan yang banyak).” (HR. Nasa’I, no. 2106, Ahmad, no. 8769. Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Shahih At-Targhib, no. 999)

Dari hadits Abu Hurairah radhiallahu ’anhu, dia berkata, Rasulullah sallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ . (رواه البخاري، رقم 1910، ومسلم، رقم 760 )

“Barangsiapa yang berdiri (menunaikan shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan (penuh) keimanan dan pengharapan (pahala), maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari, no. 1910, Muslim, no. 760).

4. Allah menjadikan puasa dan shalat yang dilakukan dengan keimanan dan mengharapkan (pahala) sebagai sebab diampuninya dosa. Sebagaimana telah terdapta riwayat shahih dalam dua kitab shahih; Shahih Bukhori, no. 2014, dan shahih Muslim, no. 760, dari hadits Abu Hurairah radhiallahu ’anhu, sesungguhnya Nabi sallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:

من صام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه

“Barangsiapa yang berpuasa (di Bulan) Ramadhan (dalam kondisi) keimanan dan mengharapkan (pahala), maka dia akan diampuni dosa-dosa yang telah lalu”.

Juga dalam riwayat Bukhari, no. 2008, dan Muslim, no. 174, Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ومن قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه

”Barangsiapa yang berdiri (menunaikan shalat) di bulan Ramadan dengan iman dan mengharap (pahala), maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni”.

Umat islam telah sepakat (ijma) akan sunnahnya menunaikan qiyam waktu malam-malam Ramadhan. Imam Nawawi telah menyebutkan bahwa maksud dari qiyam di bulan Ramadhan adalah shalat Taraweh, Artinya dia mendapat nilai qiyam dengan menunaikan shalat Taraweh.

5. Allah (di bulan Ramadhan) membuka pintu-pintu surga, menutup pintu-pintu neraka dan membelenggu setan-setan. Sebagaimana dalam dua kitab shahih, Bukhari, no. 1898, Muslim, no. 1079, dari hadits Abu Hurairah radhiallahu ’anhu, dia berkata: Rasulullah sallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:

إذا جاء رمضان فتحت أبواب الجنة , وغلقت أبواب النار , وصُفِّدت الشياطين

“Ketika datang (bulan) Ramadan, pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu”.

6. Pada setiap malam (bulan Ramadan) ada yang Allah bebaskan dari (siksa) neraka. Diriwayatkan Ahmad (5/256) dari hadits Abu Umamah, sesungguhnya Nabi sallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:

لله عند كل فطر عتقاء. (قال المنذري: إسناده لا بأس به، وصححه الألباني في صحيح الترغيب، رقم 987)

“Pada setiap (waktu) berbuka, Allah ada orang-orang yang dibebaskan (dari siksa neraka)” (Al-Munziri berkata: ”Sanadnya tidak mengapa”, dishahihkan oleh Al-Albany dalam shahih At-Targhib, no. 987)

Diriwayatkan dari Bazzar (Kasyf, no. 962), dari hadits Abu Said, dia berkata: Rasulullah sallallahu’alaihi wasallan bersabda:

إن لله تبارك وتعالى عتقاء في كل يوم وليلة _ يعني في رمضان _ , وإن لكل مسلم في كل يوم وليلة دعوة مستجابة ”

“Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta’ala memberikan kebebasan dari siksa neraka pada setiap malam –yakni di bulan Ramadan- dan sesungguhnya setiap muslim pada waktu siang dan malam memiliki doa yang terkabul (mustajabah)”.

7. Puasa pada bulan Ramadan (merupakan) sebab terhapusnya dosa-dosa yang lampau sebelum Ramadan jika menjauhi dosa-dosa besar. Sebagaimana terdapat riwayat dalam shahih Muslim, no. 233, sesungguhnya Nabi sallallahu’alaihi wasallam bersabda:

الصلوات الخمس , والجمعة إلى الجمعة , ورمضان إلى رمضان , مكفرات ما بينهن إذا اجتنبت الكبائر

“Dari shalat (ke shalat) yang lima waktu, dari Jum’at ke Jum’at, dari Ramadan ke Ramadhan, semua itu dapat menghapuskan (dosa-dosa) di antara waktu tersebut, jika menjauhi dosa-dosa besar.”

8. Puasa (di bulan Ramadan) senilai puasa sepuluh bulan. Yang menunjukkan hal itu, adalah riwayat dalam shahih Muslim, no. 1164, dari hadits Abu Ayub Al-Anshary, dia berkata:

من صام رمضان , ثم أتبعه ستا من شوال كان كصيام الدهر

“Barangsiapa yang berpuasa (pada bulan Ramadhan) kemudian diikuti (puasa) enam (hari) pada bulan Syawwal, maka hal itu seperti puasa setahun”.

Juga diriwayatkan oleh Ahmad, no. 21906, sesunggunya Nabi sallallahu ’alaihi wa sallam bersabda:

من صام رمضان فشهر بعشرة أشهر ، وصيام ستة أيام بعد الفطر فذلك تمام السنة

“Siapa yang berpuasa (pada bulan) Ramadan, maka satu bulan sama seperti sepuluh bulan. Dan (siapa yang berpuasa setelah itu) berpuasa selama enam hari sesudah Id (Syawal), hal itu (sama nilainya dengan puasa) sempurna satu tahun”.

9. Orang yang menunaikan qiyamul lail (Taraweh) bersama imam hingga selesai, dicatat baginya seperti qiyamul lail semalam (penuh). Sebagaimana terdapat riwayat dari Abu Daud, no. 1370 dan lainnya dari hadits Abu Dzar radhiallahu ’anhu, dia berkata: Rasulullah sallallahu’alaihi wasallam bersabda: “Bahwasiapa menunaikan qiyamul lail bersama imam hingga selesai, dicatat baginya (pahala) qiyamul lail semalam (penuh)”. (Dishahihkan oleh Al-Albany dalam kitab ‘Shalat Taraweh’, hal. 15)

10. Melaksanakan umrah pada bulan Ramadan, (pahalanya) seperti haji. Diriwayatkan oleh Bukhari, no. 1782, dan Muslim, no. 1256, dari Ibnu Abbas radhiallahu ’anhuma, dia berkata: Rasulullah sallallahu ’alaihi wasallam bersabda kepada wanita dari Anshar: ”Apa yang menghalangi anda melaksanakan haji bersama kami?” Dia berkata: ”Kami hanya mempunyai dua ekor onta untuk menyiram tanaman. Bapak dan anaknya menunaikan haji dengan membawa satu ekor onta dan kami ditinggalkan satu ekor onta untuk menyiram tanaman.” Beliau bersabda: “Jika datang bulan Ramadan tunaikanlah umrah, karena umrah (di bulan Ramadhan) seperti haji”. Dalam riwayat Muslim: “(seperti) haji bersamaku”.

11. Disunnahkan i’tikaf, karena Rasulullah sallallahu ’alaihi wa sallam senantiasa melaksanakannya, sebagaimana dalam hadits Aisyah radhiallahu ’anha, sesungguhnya Nabi sallallahu ’alaihi wa sallam biasanya beri’tikaf pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan hingga Allah ta’ala mewafatkannya, kemudian istri-istrinya beri’tikaf (sepeninggal) beliau”. (HR. Bukhari, no. 1922, Muslim, no. 1172).

12. Sangat dianjurkan sekali pada bulan Ramadan tadarus Al-Qur’an dan memperbanyak tilawah. Cara tadarus Al-Qur’an adalah dengan membaca (Al-Qur’an) kepada orang lain dan orang lain membacakan (Al-Qur’an) kepadanya. Dalil dianjurkannya (adalah): “Sesungguhnya Jibril bertemu Nabi sallallahu ’alaihi wa sallam setiap malam di bulan Ramadhan dan membacakan (Al-Qur’an) kepadanya”. (HR. Bukhari, no. 6, dan Muslim, no. 2308). Membaca Al-Qur’an dianjurkan secara mutlak, akan tetapi pada bulan Ramadan sangat ditekankan.

13. Dianjurkan di bulan Ramadhan memberikan buka kepada orang yang berpuasa, berdasarkan hadits Zaid Al-Juhany radiallahu ’anhu berkata, Rasulullah sallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: ”Barangsiapa memberi buka (kepada) orang yang berpuasa, maka dia (akan mendapatkan) pahala seperti orang itu, tanpa mengurangi pahala orang berpuasa sedikit pun juga”. (HR.Tirmizi, no. 807, Ibnu Majah, no. 1746, dinyatakan shahih oleh Al-Albany dalam shahih Tirmizi, no. 647).